Ya, setiap orang diciptakan berbeda antara satu dengan yang lainnya.
Sidik jari yang dimiliki setiap orang tidak ada yang sama. Pola retina
mata setiap orang juga unik, tidak ada dua orang yang memiliki sidik
jari atau retina yang betul-betul identik.
Sebenarnya keunikan ini juga berlaku pada hal lain selain sidik jari
dan retina mata. Bakat alami misalnya, setiap orang sebenarnya mempunyai
bakat alami yang hanya dimiliki oleh dia sendiri, yang berbeda dengan
bakat orang lain. Memang terdapat kemiripan dengan orang lain, tetapi
sama sekali tidak sama.
Allah menganugerahkan bakat serta kemampuan yang berbeda kepada
setiap orang dengan tujuan agar orang tersebut dapat saling berinteraksi
yaitu dalam hubungan saling membutuhkan. Jika ada banyak orang yang
mempunyai kemampuan yang benar-benar sama, maka seseorang dapat dengan
mudah memutuskan tali silaturahmi dengan orang lain. Toh ada orang lain
yang sama yang dapat menggantikannya.
Bagaimana caranya agar kita dapat mengetahui bakat seseorang? Lalu
bagaimana caranya mengelola bakat tersebut? Mengapa kebanyakan orang
seolah-olah tidak mempunyai bakat apa-apa?
Hal tersebut diakibatkan dari penanganan yang tidak tepat atas
seorang anak. Kasus yang pernah dimuat tentang kisah seorang anak pintar
terjadi pada tahun 1930, seperti yang dimuat majalah New Yorker.
Terjadi pada seorang anak yang bernama William James Sidis, putra
seorang psikiater. Kecerdasan otaknya membuat anak itu segera masuk
Harvard College walaupun usianya masih 11 tahun. Kecerdasannya di bidang
matematika begitu mengesankan banyak orang. Prestasinya sebagai anak
jenius menghiasi berbagai media masa. Namun apa yang terjadi kemudian?
James Thurber seorang wartawan terkemuka, pada suatu hari menemukan
seorang pemulung mobil tua, yang tak lain adalah William James Sidis. Si
anak ajaib yang begitu dibanggakan dan membuat orang banyak berdecak
kagum pada beberapa waktu sebelumnya.
Apa yang terjadi pada William James Sidis? Apakah tidak cukup ijazah Harvard College yang dimilikinya untuk mencari pekerjaan?
Sebenarnya hal yang tampak bagi orang lain sebagai bakat yang
mengagumkan yaitu matematika, hanyalah salah satu faktor pendukung
hidupnya. Masih ada kemampuan lain yang William James Sidis miliki yang
tidak sempat diasah karena orang-orang sekitarnya terlanjur memaksanya
belajar matematika. Padahal belum tentu William James Sidis menyukai
belajar matematika.
Bagaimana caranya agar kemampuan yang lain dapat muncul hingga terlihat bakat-bakat yang dimiliki seorang anak?
Dalam berkomunikasi dengan anak tidak cukup hanya dengan bahasa
verbal saja, kita juga memerlukan bahasa non verbal, dalam hal ini
kemampuan berempati terhadap si anak. Jika kita dapat memahami keinginan
si anak secara empati, rasa percaya diri serta kemampuan menentukan
pilihan si anak akan tumbuh. Kedua kemampuan inilah yang membuat si anak
dapat menunjukkan bakat-bakat dan kemampuannya kepada orang lain.
Yang menjadi masalah berikutnya adalah sejauh mana orang tua dapat berempati terhadap anak.
Sumber : Buletin of PRODIGY
Tidak ada komentar:
Posting Komentar