وَمَا خَلَقْتُ ٱلْجِنَّ وَٱلْإِنسَ إِلَّا
لِيَعْبُدُونِ
"Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka
mengabdi kepada-Ku."
Ibadah bukan hanya ritual saja,
tetapi juga apa yang mendasari. Bukan hanya soal tindakan, tetapi juga soal
motivasi.
Ilustrasi : ada seorang pejabat
mengunjungi tempat di mana sebuah gedung sedang dibangun. Ia melihat tiga orang
tukang bangunan tengah bekerja ; meletakkan batu satu demi satu dan
menyemennya. “Sedang apa kalian?” tanya sang pejabat kepada ketiganya.
Ketiga tukang bangunan itu memberi
jawaban berbeda. Tukang bangunan pertama menjawab, “Saya sedang meletakkan batu
ini.” Tukang bangunan kedua, “Saya sedang mendirikan tembok.” Tukang bangunan
ketiga, “Saya sedang membangun gedung.”
Seumpama apa yang dikerjakan oleh
ketiga tukang itu adalah ibadah. Tukang bangunan pertama menganggap
pekerjaannya sebagai rutinitas saja. Ia tidak tahu untuk apa melakukannya.
Pokoknya itu adalah pekerjaannya, maka ia lakukan. Titik. Sama dengan kita
pergi ke mesjid untuk sholat. Mengapa? karena kita orang Islam. Sebagai orang
Islam sudah seharusnya kita sholat ke masjid. Selesai.
Tukang bangunan kedua punya tujuan
dengan pekerjaannya. Tetapi sayangnya, ia hanya melihat pada pekerjaannya
sendiri, yaitu mendirikan tembok. Hanya parsial. Ia tidak melihat bahwa
mendirikan tembok hanya salah satu bagian pekerjaan dari keseluruhan pekerjaan
membangun gedung. Akibat yang bisa terjadi, ia sangat baik dalam mengerjakan
tugasnya mendirikan tembok, tetapi ia bisa tidak mau peduli dengan pekerjaan
lain. Padahal semua pekerjaan mendirikan gedung saling terkait, tidak bisa yang
satu diperhatikan dan yang lain diabaikan.
Kita pergi ke masjid untuk sholat
bukan hanya karena kebiasaan sebagai orang Islam, tetapi untuk beribadah kepada
Allah. Sayangnya kita melupakan, bahwa ibadah menyangkut keseluruhan hidup
kita. Pergi ke masjid hanyalah salah satu bagian dari ibadah. Akibatnya, di
masjid kita menjadi orang yang sangat baik, tetapi di luar masjid kelakuan kita
sangat bertentangan.
Tukang bangunan ketiga memberi
jawaban paling baik. Dia mempunyai visi yang utuh, yaitu membangun gedung. Maka
disamping pekerjaannya sendiri, dia juga tentunya akan memperhatikan pekerjaan
lainnya.
Hidup yang beribadah kepada Allah
juga seperti itu tidak terpilah-pilah atau terpisah-pisah. Bahwa kita
bekerja, bukan sekadar tuntutan kebutuha. Kita mendidik dan membesarkan anak,
bukan sekadar memenuhi kewajiban sebagai orang tua. Kita melakukan ini dan itu,
bukan sekadar karena tanggung jawab. Semua itu kita lakukan pula dalam rangka
beribadah kepada Allah.
2). Dalam hal melakukan segala sesuatu itu harus dengan upaya yg semaksimal mungkin semampu kita tanpa berfikir hasil akhir karena hasil akhir itu hanya اَللّهُ yang berhak menentukan.
فَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ مَا
ٱسْتَطَعْتُمْ وَٱسْمَعُوا۟ وَأَطِيعُوا۟ وَأَنفِقُوا۟ خَيْرًۭا لِّأَنفُسِكُمْ ۗ
وَمَن يُوقَ شُحَّ نَفْسِهِۦ فَأُو۟لَٰٓئِكَ هُمُ ٱلْمُفْلِحُونَ
"Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu dan
dengarlah serta ta`atlah dan nafkahkanlah nafkah yang baik untuk dirimu. Dan
barangsiapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, maka mereka itulah
orang-orang yang beruntung." (Q.S At-Taghaabun 64 : 16)
Kadangkala kita lebih menekankan hasil daripada prosesnya. Akibatnya, sikap
untung-untungan dan bukan sikap perencanaan yang ditekankan. Para remaja antre
audisi menjadi bintang sinetron karena menjadi bintang itu akan “kaya dan
terkenal”. Banyak orang menggadaikan barang-barangnya untuk ikut pemilihan caleg
karena duduk di legislatif itu gajinya gede dan ditakuti orang.
Peduli pada hasil daripada proses membentuk mental konsumtif. Kita menjadi
pemalas karena tidak pernah berproses, cuma tahu hasilnya belaka. Gajimu berapa
sekarang? Kamu dibayar berapa di sana? Itulah pertanyaan kita. Pertanyaannya
bukan, kamu kerja pada siapa dan bagaimana kerja di sana? Hasil, upah, gaji,
jumlah, itulah yang penting. Bukan bagaimana kerjanya.
Sikap yang berbeda ditunjukkan oleh masyarakat Baduy Dalam. Di sana orang
tahunya kerja keras setiap hari, entah berhasil atau tidak berhasil. Mereka
“bertapa” di dunia ini, yakni bertapa kerja. Kerja itu ibadah. Hasilnya
terserah pada yang memberi. Orang Baduy bekerja sekadar tidak lapar. Kelebihan
hasil kerjanya diberikan pada orang lain yang membutuhkannya. Mereka pantang
meminta pada orang lain. Kalau diberi pun juga mengukur dirinya, apakah
pemberian itu memang berguna buat dirinya.
Proses lebih penting daripada hasil juga ditunjukkan dalam membuat
barang-barang. Sebuah barang dibikin dengan proses yang sudah ditetapkan oleh
adat bersama. Meskipun hasilnya bagus, kalau tidak melalui proses yang
semestinya, hasil kerja itu tetap tidak bermanfaat. Proses atau laku itu jauh
lebih penting daripada hasil produknya.
Ujian naik kelas itu juga berproses. Orang harus belajar keras. Meskipun
telah belajar keras tetapi tidak lulus juga, dia tahu bahwa dirinya belum cukup
keras berproses. Membikin tesis dan disertasi juga berproses. Bukan asal lulus
dan tak mau berproses lagi. Lebih baik berproses terus, meneliti terus,
meskipun tak pernah diuji dan tak pernah dihargai. Proses itu harus autentik,
jujur, tanpa pamrih. Itulah laku ibadah. Beretika.
Dalam kategori Erch Fromm, proses dan hasil ini dirumuskan sebagai sikap
“menjadi” (menghargai proses, laku) dan sikap “memiliki” (orientasi hasil).
Nyatanya membuat peradaban modern lebih cenderung bersikap memiliki daripada
“menjadi”. Tujuan hidup modern adalah akumulasi kepemilikan. Kalau perlu, semua
gelar kehormatan diperlihatkan. Kalau perlu semua kekayaan dipamerkan. Kalau
perlu kekuasaan ditunjuk-tunjukkan. Bahkan kecantikan dan ketampanan dijual
buat memiliki sebanyak-banyaknya uang. Aji mumpung berkembang dalam sikap
“hasil”.
Orientasi “hasil” ini, kepemilikan ini, akan membuat orang bersikap konsumtif
bukan produktif. Kerja selingan mungkin hasil sebanyak mungkin. Kalau perlu
tanpa kerja apa pun hasil terus mengalir. Jabatan lantas dilihat berapa besar
dapat memperoleh benda konsumsi, bukan betapa berat tugas yang harus saya
pertanggungjawabkan. Yang penting menjadi direktur, entah bagaimana kerjanya
karena jabatan direktur merupakan akumulasi kepemilikan kekuasaan, kekayaan,
dan kesohoran.
Menyontek itu bukan dosa intelektual, yang penting lulus atau tersohor. Otak
ini dipenuhi akumulasi konsumsi pengetahuan dan bukan hasil proses kerja
sendiri. Yang dinamakan orang pandai di Indonesia itu kalau berhasil menjadikan
otaknya sebagai terminal pikiran-pikiran produk orang lain. Produk pemikiran
sendiri itu nilainya rendah karena melalui proses laku sendiri.
Bagaimana bangsa ini akan menjadi bangsa besar kalau penghargaan terhadap
proses diabaikan? Kita bisa belajar dari Cina, yang dari dulu ngotot percaya
diri pada kekuatannya sendiri dan cara berpikirnya sendiri. Memang melalui
proses panjang untuk membuktikan bahwa mereka akhirnya berhasil mencapai
dirinya. Harus sabar tetapi terus tekun berproses. Ada perencanaan, bukan
untung-untungan. Dolar boleh jatuh, tetapi rupiah tetap stabil. Itu semua
akibat hasil proses.
Proses, kerja, laku, lampah, itulah hidup ini. Pantang meminta, tetapi mampu
memberi. Jangan hanya belajar, tetapi juga akan dipelajari. Semua produk itu
ada prosesnya. Apa bangganya mengonsumsi produk dari proses orang lain? Puaslah
dengan produk sendiri yang melalui proses autentik diri sendiri. Kita bukan
bangsa peminta, tetapi bangsa pemberi. Mulailah menghargai proses.
3). Hanya اَللّهُ lah yg mengetahui apa yang terbaik buat diri kita, kita tdk pernah mengetahui apa yang terbaik buat diri kita sendiri apalagi untuk org lain, namun kita sering menjadi sombong dengan merasa tahu sehingga seringkali kita jadi memaksakan keinginan kita kepada اَللّهُ
قُلْ أَتُعَلِّمُونَ ٱللَّهَ بِدِينِكُمْ
وَٱللَّهُ يَعْلَمُ مَا فِى ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَمَا فِى ٱلْأَرْضِ ۚ وَٱللَّهُ
بِكُلِّ شَىْءٍ عَلِيمٌۭ
Katakanlah: "Apakah kamu akan memberitahukan kepada Allah tentang
agamamu, padahal Allah mengetahui apa yang di langit dan apa yang di bumi dan
Allah Maha Mengetahui segala sesuatu?" (Q.S Al-Hujuraat 49 : 16)
Dalam sebuah atsar diriwayatkan oleh Wahb bin Munabbih disebutkan bahwa
Allah berfirman: “Hamba-Ku! Taati sajalah apa yang sudah Aku
perintahkan kepadamu, dan jangan (sekali-kali) mengajari-Ku terhadap apa saja
yang baik untukmu.”
Bagi seorang mukmin sejati yang memiliki ketajaman nurani, tentulah
terhindar dari sikap “lancang” dengan mengajari Allah terhadap segala hal yang
baik untuknya. Karena memang manusia manapun di dunia ini tidak akan pernah
tahu rencana dan skenario Allah ketika Dia menimpakan segala musibah dan
masalah kepada hamba-Nya.
Rasanya sudah terlalu sering kita mengajari Allah bahkan terkadang harus
menyalahkan-Nya saat harapan-harapan dan cita-cita kita yang kita nantikan dan
tunggu tidak kunjung datang atau malah hanya kegagalan yang kita raih.
Prasangka-prasangka buruk terhadap Allah melintas di fikiran kita tanpa bisa
kita cegah, karena kebodohan dan kelemahan kita dalam memahami hakikat
keberadaan kita di dunia ini.
Allah berfirman dalam surah al-Baqarah ayat 216: “Dan boleh jadi
kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu
menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu
tidak Mengetahui”
Banyak hal di dunia ini yang berada diluar kekuasaan kita, dan kita tidak
pernah mampu menghindar dan menolaknya. Hal yang demikian karena memang kita
diciptakan hanya untuk tunduk dan patuh terhadap perintah Allah dan menjauhi
larangan-Nya. Saat manusia menderita dengan rezeki yang serba kekurangan
(menurutnya) seharusnya bersyukur karena Allah sedang membimbingnya agar selalu
menggantungkan harapan dan memohon kepada-Nya. Saat seseorang nestapa karena
kehilangan apa saja yang dicintainya selayaknya berbahagia karena pada saat
yang sama Allah sedang menuntunnya agar tidak mencintai apapun melebihi cinta
kepada Allah dan Rasul-Nya.
Selama paru-paru ini masih bernafas, jantung ini masih berdetak, darah ini
masih mengalir, manusia tidak akan pernah terlepas dari deraan cobaan dan
ujian. Karena memang dunia diciptakan sebagai tempat ujian dan akhirat sebagai
tempat balasan. Kesenangan sejati hanya akan diraih jika kita sudah
menginjakkan kaki di surga. Jika memang dunia ini diciptakan untuk tempat
bersenang-senang, maka para nabi seharusnya yang paling berhak mendapatkannya.
Lantas, kenapa malah merekalah yang paling banyak dan sering mendapatkan
rentetan cobaan dan cabaran.
Semoga sebuah hadits ini akan membuat kita sadar, bersimpuh dan tertunduk
malu dihadapan-Nya dan berhenti mengajari-Nya atau menyalahkan ketentuan-Nya
saat doa-doa belum terpenuhi dan harapan-harapan yang gagal diraih. Karena
memang tidak ada kebetulan dalam kehidupan ini. Sebuah hadits yang riwayatkan
oleh imam al-Baihaqi dari sahabat Anas bin Malik RA bahwa Rasulullah SAW
bersabda: “Malaikat Jibril AS berkata: Wahai Allah, hamba-Mu si fulan
penuhilah segala keperluan (yang diminta)nya. Allah pun menjawab: (sudah)
biarkan saja hamba-Ku (itu), Sungguh Aku senang mendengar suaranya (saat
bermunajat kepada-Ku).
4). اَللّهُ itu memberikan apa yang kita butuhkan bukan apa yang kita inginkan.
كُتِبَ عَلَيْكُمُ ٱلْقِتَالُ وَهُوَ كُرْهٌۭ
لَّكُمْ ۖ وَعَسَىٰٓ أَن تَكْرَهُوا۟ شَيْـًۭٔا وَهُوَ خَيْرٌۭ لَّكُمْ ۖ
وَعَسَىٰٓ أَن تُحِبُّوا۟ شَيْـًۭٔا وَهُوَ شَرٌّۭ لَّكُمْ ۗ وَٱللَّهُ يَعْلَمُ
وَأَنتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
"Diwajibkan atas kamu berperang, padahal berperang itu adalah
sesuatu yang kamu benci. Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat
baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk
bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui." (Q.S Al-Baqarah 2 : 216)
Setiap kita tentu menyukai keindahan. Karena itulah fitrah yang Allah SWT
berikan kepada kita sebagai hambaNya. Menyukai dan menyenangi keindahan.
Sebagaimana kita merasa senang melihat keindahan kupu-kupu yang terbang di
antara bunga yang berwarna warni. Keindahan itu memberikan kesejukan bagi
siapapun yang memandang.
Tetapi terkadang kita lupa bahwa keindahan itu diperoleh dari sebuah proses
yang melelahkan. Proses yang boleh jadi menyakitkan. Tapi itulah sunnatullah.
Sebagaimana kupu-kupu yang kita lihat demikian mempesona, lahir dari sebuah
proses yang sangat melelahkan. Dan sesungguhnya ia lahir dari bentuk yang,
menurut sebagian besar dari kita, menjijikkan dan menakutkan. Seekor ulat.
Berhari-hari sang calon kupu-kupu tersebut berpuasa. Tidak makan dan tidak
minum. Ketika pun saatnya ia akan lahir, sang calon kupu-kupu itupun harus
melalui perjuangan yang melelahkan dan juga menyakitkan. Ia harus melewati
sebuah lubang yang sangat kecil bahkan menjepit tubuhnya yang masih lemah.
Tetapi ia terus berjuang dan berjuang. Karena ia yakin Allah SWT memberikan
hikmah dibalik kesulitan yang ia alami. Setelah melewati proses yang panjang
tersebut akhirnya ia lahir sebagai kupu-kupu yang indah dengan sayap mempesona.
Kesulitan, kelelahan dan kesakitan yang dialami sesungguhnya bagian dari
tarbiyah dari Allah SWT untuk memberikan kekuatan kepada sang calon
kupu-kupu. Tersebutlah dalam sebuah cerita seorang yang sangat baik hati
melihat sang calon kupu-kupu terjepit dalam kepompong yang mulai terbuka. Orang
baik ini merasa iba dengan sang calon kupu-kupu. Ia tidak tega melihat
penderitaan sang calon kupu-kupu ini untuk keluar dari lubang kepompong yang
kecil bahkan teramat kecil untuk ukuran tubuhnya. Akhirnya ia pun berbaik hati
membantu membukakan kepompong tersebut agar lubangnya lebih besar dan agar
penderitaan sang calon kupu-kupu ini segera berakhir. Usahanya tidak sia-sia.
Sang kupu-kupu keluar dengan mudah. Sangat mudah. Orang baik ini tersenyum.
Lega. Karena telah membantu menghilangkan kesulitan sang kupu-kupu.
Dipandanginya kupu-kupu kecil tersebut. “Terbanglah sayang. Nikmatilah
luasnya angkasa ciptaan Allah.” Bisik orang baik ini memberi semangat. Tunggu
tinggal tunggu. Tetapi sang kupu-kupu ini tak kunjung bergerak untuk terbang.
Beberapa kali ia mencoba mengangkat sayapnya tetapi berkali itu pula ia gagal.
Sayapnya terlalu kecil mengangkat beban tubuhnya yang lebih besar. Sang
kupu-kupu ini menggelepar dan akhirnya mati tanpa pernah bisa terbang
sebagaimana kupu-kupu yang lain.
Orang baik ini tercenung. Mengapa gerangan ia tidak bisa terbang? Orang baik
ini merasa sedih. Ternyata kesulitan sang calon kupu-kupu untuk keluar dari kepompong, satu
hal yang harus ia lewati. Karena di sinilah Allah SWT menempa kekuatan sang
calon kupu-kupu tersebut. Ketika tubuhnya terjepit lubang kepompong, Allah SWT
mengalirkan cairan yang ada dalam tubuh sang kupu-kupu ini ke bagian sayap.
Sehingga ketika berhasil keluar dari kepompong tubuhnya lebih kecil dari
sayapnya dan sayap ini pun lebih besar dan lebih kuat sehingga mampu mengangkat
tubuh sang kupu-kupu ini terbang bebas di angkasa. Subhanallah.
Inilah hikmah di balik setiap kesulitan. Proses yang sulit, melelahkan dan
terkadang menyakitkan adalah tarbiyah dari Allah SWT agar kita menjadi
pribadi yang lebih kuat. Pribadi yang lebih baik. Pribadi yang mampu memberikan
kesejukan bagi siapapun yang memandang.
“Karena Sesungguhnya sesudah kesulitan itu
ada kemudahan. Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan.”
Ternyata Allah SWT memberikan apa yang kita butuhkan bukan yang kita
inginkan.
وَلِلَّهِ مَا فِى ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَمَا فِى
ٱلْأَرْضِ ۚ وَكَانَ ٱللَّهُ بِكُلِّ شَىْءٍۢ مُّحِيطًۭا
"Kepunyaan Allah-lah apa yang di langit dan apa yang di bumi, dan
adalah (pengetahuan) Allah Maha Meliputi segala sesuatu." (Q.S An-Nisaa`4 :126 )
Allah adalah Maha Kaya (tidak membutuhkan sesuatu yang lain), sedangkan
manusia adalah miskin (selalu membutuhkan sesuatu yang lain). Saat manusia
lahir sebagai bayi, dia dalam keadaan telanjang bulat, tidak membawa apa-apa,
dan belum tahu apa-apa. Saat manusia mati sebagai mayat, dia dalam keadaan
kaku, tidak membawa apa-apa (kecuali amal dan kain putih), dan sudah tidak tahu
apa-apa.
Semuanya adalah milik Allah. Manusia hanya sekedar “dipinjami” atau
“dititipi” oleh Allah. Apa saja yang diperoleh, dirasakan dan dipakai oleh
manusia hanya sekedar “barang pinjaman” atau “barang titipan” milik Allah.
Suatu saat barang itu akan diminta oleh yang pemiliknya.
Harta melimpah yang kita nikmati selama ini hanyalah “barang pinjaman”
(“titipan”) milik Allah. Allah hanya sekedar meminjami sebagian kecil
kekayaan-Nya kepada kita. Kekuasaan dan jabatan yang kita genggam hanyalah
sekedar “barang pinjaman” (“titipan”) milik Allah yang Maha Kuasa (al-Malik).
Amanah dari Allah tersebut digunakan untuk mengatur, melindungi, dan
mensejahterakan rakyat atau bawahan, bukan untuk memperkaya diri dan keluarga.
Ilmu yang selama ini kita dalami, dan kita menfaatkan hanyalah sekedar
“barang pinjaman” (“titipan”) milik Allah yang Maha ber-Ilmu (al-‘Alim).
Kewajiban kita adalah mengamalkan ilmu untuk kesejahteraan ummat manusia
(rahmatan lil’aalamiin), bukan untuk menghancurkannya.
Nyawa kita, anggota tubuh kita, dan semua kemampuan kita hanyalah sekedar
“barang pinjaman” (“titipan”) milik Allah SWT, yang semuanya pasti akan
dikembalikan kepada-Nya. Kewajiban kita adalah mengabdikan diri (beribadah)
kepada Allah semata (sebagai ‘abdullah) dan mengelola kehidupan dunia menurut
petunjuk-Nya (sebagai khalifah), bukan untuk hidup menurut nafsu kita.
Kesabaran dan usaha yang keras menjadi kunci untuk mengatasi krisis yang
masih melanda dunia. Kesadaran yang mendalam bahwa “semua milik Allah dan semua
akan kembali kepada Allah” akan membawa pada kehidupan yang tenang, damai, dan
optimis. Kesadaran ini juga harus diikuti dengan usaha sungguh-sungguh untuk
mengatasi problem yang dihadapi. Allah bersama orang-orang yang sabar
(QS. al-Baqarah 2:153).
ٱلَّذِينَ إِذَآ أَصَٰبَتْهُم مُّصِيبَةٌۭ
قَالُوٓا۟ إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّآ إِلَيْهِ رَٰجِعُونَ
"(yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka
mengucapkan: "Inna lillaahi wa innaa ilaihi raaji`uun" (Q.S Al-Baqarah 2 :156)
Semua yang berasal dari Allah akan kembali kepada Allah. Kalimat tersebut
barangkali sudah tidak asing di telinga kita, terlebih ketika seorang manusia
ditimpa musibah atau meninggal dunia. Namun sungguh sangat disayangkan
kebanyakan manusia tidak memahami secara mendalam makna spiritual yang
terkandung dalam kalimat tersebut.
Jika kita pahami dan resapi makna tersebut, maka akan timbul pemahaman bahwa
segala sesuatu yang ada di jagat raya ini milik Allah dari yang terbesar maupun
yang terkecil, termasuk diri kita sendiri. Jika semuanya adalah milik Allah
maka kita hanya sebatas diberikan amanah dan diuji, yang nantinya akan diambil
kembali sang pemilik.
Diibaratkan ketika kita diberi pinjam sebuah motor untuk jangka waktu
tertentu. Kita sadar bahwa motor tersebut bukanlah milik kita dan kita juga
sadar bahwa nanti pada waktunya motor tersebut akan dimintai kembali oleh
pemiliknya tanpa ada rasa sedih atau menyesal ketika kita mengembalikannya.
Nah, kesadaran spiritual seperti inilah yang seharusnya dimiliki oleh setiap
diri kita yang harus teraplikasi secara utuh dalam kehidupan sehari-hari.
Sehingga ketika kita ditimpa musibah kematian maka kita harus paham dan sadar
bahwa kematian adalah suatu kewajaran yang harus diterima sebagai proses “diambilnya”
seseorang kepada pemiliknya, sehingga tidak ada bagi kita kesedihan dan
kekhawatiran bagi yang ditinggalkan.
7). Dalam melakukan ibadah itu harus lah dilakukan dgn niat krn اَللّهُ semata bukan mengharapkan surga atau pun pahala krn surga atau pahala itu hanyalah bonus. Jadi lakukan dgn niat Lillaahi Ta'alla bukan Lilbonus atau Lil-lil lainnya.
قُلْ إِنَّ صَلَاتِى وَنُسُكِى وَمَحْيَاىَ
وَمَمَاتِى لِلَّهِ رَبِّ ٱلْعَٰلَمِينَ
Katakanlah : "sesungguhnya sembahyangku, ibadatku, hidupku dan
matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam". (Q.S Al-An`aam 6 : 162)
Siapapun yang beribadah kepada
Allah karena motivasi kepentingan tertentu dengan harapan sesuatu dari-Nya,
atau beribadah dalam rangka menolak bencana dari Allah, maka sesungguhnya
ibadah orang tersebut (meskipun tidak salah) tapi belumlah berpijak dengan
tepat sesuai dari sifat Allah itu sendiri.
Kenapa demikian?
Betapa banyaknya orang beribadah kepada Allah tidak didasari keikhlasan mutlak (Lillaahi Ta’ala), tetapi masih demi yang lain, demi kepentingan duniawi, naiknya jabatan, sukses kariernya, mendapatkan jodoh, dagangannya laku, bahkan demi menolak balak dan bencana atau siksa.
Apakah Allah Ta’ala memerintahkan kita melakukan ibadah dan menjauhi larangan-Nya karena sebuah sebab dan alasan-alasan tertentu seperti itu?
Bukankah kita beribadah karena kita memang harus melakukan ibadah dan menyambut dengan ikhlas (tanpa keinginan yang lain) sifat Rububiyah-Nya (sifat ke-Tuhan-an) melalui sifat Ubudiyah (sifat ke-Hamba-an) kita?
Bukankah segalanya sudah dijamin Allah, dan segalanya dari-Nya, bersama-Nya serta menuju kepada-Nya?
Apakah Allah tidak layak disembah, tidak layak menjadi Tuhan, tidak layak diabdi dan diikuti perintah serta larangan-Nya, manakala Allah tidak menciptakan syurga dan neraka?
Bukankah Rasulullah SAW, mengkhabarkan :
“Janganlah diantara kalian seperti budak yang buruk, jika tidak diancam ia tak pernah bekerja. Juga jangan seperti pekerja yang buruk, jika tidak diberi upah ia tidak bekerja”
Kenapa demikian?
Betapa banyaknya orang beribadah kepada Allah tidak didasari keikhlasan mutlak (Lillaahi Ta’ala), tetapi masih demi yang lain, demi kepentingan duniawi, naiknya jabatan, sukses kariernya, mendapatkan jodoh, dagangannya laku, bahkan demi menolak balak dan bencana atau siksa.
Apakah Allah Ta’ala memerintahkan kita melakukan ibadah dan menjauhi larangan-Nya karena sebuah sebab dan alasan-alasan tertentu seperti itu?
Bukankah kita beribadah karena kita memang harus melakukan ibadah dan menyambut dengan ikhlas (tanpa keinginan yang lain) sifat Rububiyah-Nya (sifat ke-Tuhan-an) melalui sifat Ubudiyah (sifat ke-Hamba-an) kita?
Bukankah segalanya sudah dijamin Allah, dan segalanya dari-Nya, bersama-Nya serta menuju kepada-Nya?
Apakah Allah tidak layak disembah, tidak layak menjadi Tuhan, tidak layak diabdi dan diikuti perintah serta larangan-Nya, manakala Allah tidak menciptakan syurga dan neraka?
Bukankah Rasulullah SAW, mengkhabarkan :
“Janganlah diantara kalian seperti budak yang buruk, jika tidak diancam ia tak pernah bekerja. Juga jangan seperti pekerja yang buruk, jika tidak diberi upah ia tidak bekerja”
Dalam kitab Zabur
Allah berfirman :
“Adakah orang yang lebih zalim dibanding orang yang menyembah-Ku karena syurga atau takut neraka? Apakah jika Aku tidak menciptakan syurga dan neraka, Aku tidak pantas untuk ditaati?”
“Adakah orang yang lebih zalim dibanding orang yang menyembah-Ku karena syurga atau takut neraka? Apakah jika Aku tidak menciptakan syurga dan neraka, Aku tidak pantas untuk ditaati?”
Diuraikan oleh : Admin PRODIMAAR
hatur nuhun kang, sangat dalam dan mencerahkan
BalasHapusMantap.. izin share kang.....
BalasHapusTerima kasih kang Dicky! Yeah-Haa.
BalasHapus