Kamis, 24 Mei 2012

Jepang & Seni Beladiri Lahir dari Perang Saudara


Sudah diketahui banyak orang, Jepang mempunyai reputasi buruk di mata dunia pada masa Perang Dunia II. Kekejaman, kebrutalan dan kebengisan mereka untuk memperluas wilayah kekuasaan tak mudah dilupakan oleh sebagian penduduk planet ini yang pernah merasakan sepak terjang mereka. Namun citra tersebut nyaris sirna jika kita melihat perkembangan Jepang dewasa ini, mulai dari keanekaragaman dan keindahan budayanya yang masih terpelihara, tradisi pola hidup turun temurun yang masih kental melekat hingga ke generasi sekarang serta perkembangan teknologi yang begitu pesat. Dan khususnya bagi orang-orang yang mencintai seni beladiri, Jepang tentu akan menjadi sebuah nama yang sangat berarti. Dari negeri inilah lahir berbagai macam seni beladiri yang amat digandrungi, diantaranya Judo, Aikido, Jujitsu, dan Karate. 

Karakter masyarakan Jepang pada umumnya sangat menjunjung tinggi gaya hidup disiplin yang dinamis, manyak dipengaruhi oleh falsafah seni beladiri yang dianut, "bertempur dan menang seratus kali belum cukup, seni yang paling tinggi adalah jika dapat mengalahkan musuh tanpa pertempuran". Mereka percaya bahwa dengan mendalami ilmu beladiri akan membentuk kepribadian mereka menjadi lebih baik. Selain meningkatkan disiplin diri, juga menumbuhkan kepercayaan diri yang besar, bersikap ksatria dan rendah hati.

Kepopuleran Musashi
Besarnya manfaat yang diperoleh dari (falsafah) beladiri ini menjadi alasan tersendiri bagi pemerintah Jepang untuk memasukkannya ke dalam kurikulum pendidikan mereka. Bukan hanya berpengaruh pada gaya hidup, tapi juga dalam dunia bisnis di Jepang. Tek heran jika banyak kalangan bisnis asing yang meniru prinsip-prinsip manajemen di negeri "Matahari Terbit" tersebut.

Salah satu buku yang termasyhur dan paling banyak dibaca oleh para pelaku bisnis di Amerika Serikat, yang kemudian dijadikan sebagai acuan untuk menjalankan dan mengembangkan bisnis mereka adalah "Gorin no Sho" (Buku Lima Lingkaran) karya Miyamoto Musashi (1584-1645), seorang tokoh sejarah beladiri Jepang.

Miyamoto Musashi (1584-1645)
Musashi sendiri sebenarnya adalah seorang Kengo (pendekar pedang) yang sangat terkenal dengan Nitenichiryu-nya, sebuah aliran andalannya yakni bertempur dengan menggunakan dua pedang sekaligus. Selama hidupnya tercatat ia memenangkan lebih dari 60 pertarungan secara berturut-turut. Namun, seiring dengan pertambahan usia, ia mengalami semacam transformasi spiritual. Musashi mulai memusatkan perhatian pada pengkajian prinsip-prinsip kependekaran, mendalami Zen (aliran meditasi Buddhis) dan membuat karya-karya seni. Kepopuleran Musashi tak lepas pula dari peranan novelis Eiji Yoshikawa yang menggunakan sosok pendekar tersebut ke dalam sebuah karya yang mengawinkan fiksi dan sejarah sebenarnya. Novel "Musashi" pertama kali dimuat secara berseri di harian "Ashi Shimbun" pada tahun 1953 hingga enam tahun berikutnya dan sukses.

Perang Saudara
Asal usul ilmu meladiri di Jepang berjalan seiring dengan sejarah negara itu sendiri. Secara tidak langsung awal kehadirannya banyak dipengaruhi oleh masuknya kebudayaan Cina dan agama Budha melalui Korea. Kehadiran budaya asing ini menjadi cikal bakal perkembangan jati diri Jepang, mulai dari bahasa hingga kesenian. Menjelang akhir abad IX, hubungan Jepang-Cina terhenti. Momen tersebut menandai awal kemandirian negara ini untuk mengembangkan ciri tersendiri yang lebih khas dan spesifik, termasuk ilmu bela diri tentunya.

Selanujutnya, eksistensi ilmu beladiri lambat laun mulai nampak. Puncaknya ketika Jepang mulai sering dilanda perang saudara sehingga melahirkan beberapa kolompok keluarga yang saling bersaing. Yoritomo, pemimpin keluarga Minamoto, pada tahun 1192 mendirikan keshogunan (penguasa militer) di Kamakura. Di era keshogunan Yoritomo ini, ilmu beladiri mulai dianjurkan dan diterapkan untuk menjaga kestabilan keamanan daerah kekuasaan. Dimasa yang bagi orang awam tak lebih dari sekadar sebuah masa dimana orang-orang saling bacok-bacokan ini pula berlaku cara hidup Bushido, hidup secara ksatria seperti dianut oleh para samurai. Hidup dan mati secara terhormat.

Perang saudara yang semakin berkepanjangan memicu munculnya kolompok-kelompok ini lahir sebuah aliran bernama Ninjutsu (seni Ninja). menurut pendapat para ahli sejarah Jepang, aliran ini sempurna sebagai beladiri. Berbagai skill sudah tercakup didalamnya, seperti Kenjutsu (ilmu pedang) dan jujitsu (tangan kosong).


Selain itu, para ninja (penganut Ninjutsu) ditandai dengan ciri mereka yang selalu bergerak cepat, sangat rahasia dan penuh perhitungan. Mereka juga menguasai berbagai trik mengecoh musuh seperti menyamar untuk kepentingan penyusupan, 'menghilang' dengan tipuan benda (biasanya berupa bom asap) bila dalam keadaan terdesak. Tugas mereka pada dasarnya mirip agen rahasia atau pasukan khusus sekarang. Pada masa pemerintahan keshogunan Tokugawa Leyasu di Edo (kini Tokyo), kaum ninja banyak disewa untuk kepentingan keamanan. Ada dua aliran ninja terkenal yang pernah menggetarkan Jepang, yaitu Iga dan Koka. Dan salah satu tokoh ninja yang sangat disegani pada masa tersebut adalah Hanzo Hattori, pemimpin kelompok Iga.

Hanzo Hattori (1542 – 1596)
Sekarang bisa dikatakan Ninja sudah tidak ada lagi, seiring dengan kondisi Jepang yang semakin membaik. Namun, ajaran-ajaran yang ditinggalkan tetap dikembangkan hingga kini. Bansen Shukai, sebuah buku tentang ilmu ninja dari berbagai aliran yang dihimpun oleh Fujibayashi Sabuji, bahkan pernah dijadikan teks resmi oleh Nakano Gakko - Akademi Angkatan Darat Jepang yang khusus menangani pasukan intelejen pada masa Perang Dunia II. Sosok ninja sendiri belakangan banyak mengilhami pembuatan film-film aksi dan komik.

Go Internasional
Berkembang terus dari zaman ke zaman, seni beladiri mulai diarahkan sebagai ajaran pendukung menuju cara hidup yang lebih baik dan juga olahraga, bukan lagi untuk kepentingan perang semata. Maka bermunculanlah berbagai bentuk seni beladiri yang lebih spesifik. Misalnya Sumo, gulat tradisional yang selalu dipertandingkan secara rutin. 

Tak kurang, Kenjutsu pun mengalami perkembangan yang cukup berarti. Ilmu yang dirintis oleh Muromichi (1392-1573) ini kemudian lebih dimanusiawikan lagi ileh Nakamitsu-Chuta dengan mengganti penggunakan bokken (pedang) dengan shinai (pedang bambu). Nama pun berubah menjadi Kendo. Dua aliran baru yaitu Aikido dan Judo lahir karena terilhami oleh Jujitsu. Kepopuleran Judo berkan jasa Jigoro Kano, sang penemu yang memadukan kealotan ilmu gulat Sambo yang populer di Soviet dengan Sumo dan Jujitsu.

Namun, dari sejumlah seni beladiri 'made in Japan' yang kita kenal, Karate mungkin yang paling populer, dibanding Judo sekalopun. Memang masih banyak yang menganggap aliran ini bukan murni buatan Jepang, namun sulit dipungkiri 'saham' terbesar untuk pengembangan karate adalah buah pikiran pendekar-pendekar Jepang. Bukti yang mempertegas hal tersebut bisa dilihat dari banyaknya aliran yang muncul. Yang paleing populer diantaranya Kyokushinkai, didirikan oleh Masutatsu Oyama. Lau ada Gojuryu-nya Choyun Myagi, yang banyak dipengaruhi oleh aliran Kungfu Shaolin Selatan. Juga aliran Shotokan yang dirintis oleh Gichin "The Father of Karate" Funakoshi, yang berakar dari aliran Shorin dan dipengaruhi gaya Kungfu Tiongkok Utara. Saking populernya, Karete bisa dikatakan bukan lagi milik orang Jepang, tapi milik seluruh dunia. Di Eropa dan Amerika malah dipertandingkan secara profesional, tidak lagi mesti bertarung di atas matras sebagaimana lazimnya, tapi di atas ring dan tentu saja : dibayar !



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Iklan

Komentar Terbaru

Prodimaar