Jendral Hoegeng Iman Santoso |
Jendral Hoegeng Iman Santoso
adalah Kapolri di tahun 1968-1971. Ia juga pernah menjadi Kepala Imigrasi
(1960), dan juga pernah menjabat sebagai menteri di jajaran kabinet era
Soekarno. Kedisiplinan dan kejujuran selalu menjadi simbol Hoegeng dalam
menjalankan tugasnya di manapun. Polisi Kelahiran Pekalongan 14 Oktober 1921
ini sangat gigih dalam menjalankan tugas. Jenderal Hoegeng selalu konsisten
dalam memberantas korupsi, penyelundupan dan tindak kriminal. Hoegeng tak takut
pada backing aparat dan pejabat busuk bermental korup. Beliau bahkan kadang
menyamar dalam beberapa penyelidikan.
Selama kepemimpinan Jendral Hoegeng
Iman Santoso banyak perubahan yang dilakukannya. Hoegeng melakukan pembenahan
Struktur Organisasi di tingkat Mabes Polri. Hasilnya, struktur yang baru lebih
terkesan lebih dinamis dan komunikatif. Di bawah kepemimpinan Hoegeng peran
serta Polri dalam peta organisasi Polisi Internasional, International Criminal
Police Organization (ICPO), semakin aktif. Hal itu ditandai dengan dibukanya
Sekretariat National Central Bureau (NCB) Interpol di Jakarta.
Sepak terjang Hoegeng membuat
kroni keluarga Cendana mulai terusik. Apalagi sejumlah kasus diduga melibatkan
orang-orang dekat Soeharto. Puncak perseteruan itu, Soeharto mencopot Hoegeng
sebagai Kapolri tanggal 2 Oktober 1971. Baru tiga tahun Hoegeng menjabat. Kabar
pencopotan itu diterima Hoegeng secara mendadak. Ironinya dengan alasan
penyegaran, justru pengganti Hoegeng, Jenderal M Hasan lebih tua satu tahun.
Banyak pihak ketika itu menilai pergantian Hoegeng penuh intrik politik. Tapi
Hoegeng tak peduli dicopot. Dia sadar itu risiko memperjuangkan tegaknya hukum
dengan kejujuran, dan sikap antikorupsi. Hoegeng dipensiunkan oleh Presiden
Soeharto pada usia 49 tahun, di saat ia sedang melakukan pembersihan di jajaran
kepolisian.
Berikut perlawanan Hoegeng
mencoba menegakkan hukum walau harus merelakan jabatannya.
1. Penyelundupan mobil mewah
Robby Tjahjadi
Kasus penyelundupan mobil yang
dilakukan Robby Tjahjadi sangat fenomenal pada akhir periode 1960an sampai awal
1970an. Robby adalah anak muda yang menyelundupkan ratusan mobil mewah ke
Indonesia. Bayangkan tahun 1968, saat rakyat masih susah makan, di jalanan
berkeliaran mobil Roll Royce, Jaguar, Alfa Romeo, BMW, Mercedes Benz dan
lain-lain. Robby menyuap sejumlah pihak di bea cukai dan kepolisian untuk
melanggengkan aksinya. Diduga ada keterlibatan keluarga Cendana dalam kasus
ini. Maka ketika Jenderal Hoegeng membongkar kasus ini, bukan pujian atau
penghargaan yang didapat. Soeharto mencopot jenderal penuh teladan ini sebagai
Kapolri.
2. Kasus Pemerkosaan Sum
Kuning
Sumarijem adalah seorang wanita
penjual telur ayam berusia 18 tahun. Tanggal 21 September 1970, Sumarijem yang
sedang menunggu bus di pinggir jalan, tiba-tiba diseret masuk ke dalam mobil
oleh beberapa orang pria. Di dalam mobil, Sum diberi eter hingga tak sadarkan
diri. Dia dibawa ke sebuah rumah di Klaten dan diperkosa bergiliran oleh para
penculiknya. Setelah puas menjalankan aksi biadab mereka, Sum ditinggal begitu
saja di pinggir jalan. Gadis malang ini pun melapor ke polisi. Bukannya
dibantu, Sum malah dijadikan tersangka dengan tuduhan membuat laporan palsu.
Dalam pengakuannya kepada
wartawan, Sum mengaku disuruh mengakui cerita yang berbeda dari versi
sebelumnya. Dia diancam akan disetrum jika tidak mau menurut. Sum pun disuruh
membuka pakaiannya, dengan alasan polisi mencari tanda palu arit di tubuh
wanita malang itu. Karena melibatkan anak-anak pejabat yang berpengaruh, Sum
malah dituding anggota Gerwani. Saat itu memang masa-masanya pemerintah
Soeharto gencar menangkapi anggota PKI dan underbouw-nya, termasuk Gerwani.
Kasus Sum disidangkan di
Pengadilan Negeri Yogyakarta. Sidang perdana yang ganjil ini tertutup untuk
wartawan. Belakangan polisi menghadirkan penjual bakso bernama Trimo. Trimo
disebut sebagai pemerkosa Sum. Dalam persidangan Trimo menolak mentah-mentah.
Jaksa menuntut Sum penjara tiga bulan dan satu tahun percobaan. Tapi majelis
hakim menolak tuntutan itu. Dalam putusan, Hakim Ketua Lamijah Moeljarto
menyatakan Sum tak terbukti memberikan keterangan palsu. Karena itu Sum harus
dibebaskan. Dalam putusan hakim dibeberkan pula nestapa Sum selama ditahan
polisi. Dianiaya, tak diberi obat saat sakit dan dipaksa mengakui berhubungan
badan dengan Trimo, sang penjual bakso. Hakim juga membeberkan Trimo dianiaya
saat diperiksa polisi.
Hoegeng terus memantau perkembangan
kasus ini. Sehari setelah vonis bebas Sum, Hoegeng memanggil Komandan Polisi
Yogyakarta AKBP Indrajoto dan Kapolda Jawa Tengah Kombes Suswono. Hoegeng lalu
memerintahkan Komandan Jenderal Komando Reserse Katik Suroso mencari siapa saja
yang memiliki fakta soal pemerkosaan Sum Kuning.
"Perlu diketahui bahwa kita
tidak gentar menghadapi orang-orang gede siapa pun. Kita hanya takut kepada
Tuhan Yang Maha Esa. Jadi kalau salah tetap kita tindak," tegas Hoegeng.
Hoegeng membentuk tim khusus
untuk menangani kasus ini. Namanya Tim Pemeriksa Sum Kuning, dibentuk Januari
1971. Kasus Sum Kuning terus membesar seperti bola salju. Sejumlah pejabat
polisi dan Yogyakarta yang anaknya disebut terlibat, membantah lewat media
massa. Belakangan Presiden Soeharto sampai turun tangan menghentikan kasus Sum
Kuning. Dalam pertemuan di istana, Soeharto memerintahkan kasus ini ditangani
oleh Team pemeriksa Pusat Kopkamtib. Hal ini dinilai luar biasa. Kopkamtib
adalah lembaga negara yang menangani masalah politik luar biasa. Masalah
keamanan yang dianggap membahayakan negara. Kenapa kasus perkosaan ini sampai
ditangani Kopkamtib? Dalam kasus persidangan perkosaan Sum, polisi kemudian
mengumumkan pemerkosa Sum berjumlah 10 orang. Semuanya anak orang biasa, bukan
anak penggede alias pejabat negara. Para terdakwa pemerkosa Sum membantah keras
melakukan pemerkosaan ini. Mereka bersumpah rela mati jika benar memerkosa.
Kapolri Hoegeng sadar. Ada kekuatan besar untuk membuat kasus ini menjadi bias.
Tanggal 2 Oktober 1971, Hoegeng dipensiunkan sebagai Kapolri. Beberapa pihak
menilai Hoegeng sengaja dipensiunkan untuk menutup kasus ini.
Sumarijem |
3. Tolak Rayuan Pengusaha Cantik
Kapolri Hoegeng Imam Santosa pun
pernah merasakan godaan suap. Dia pernah dirayu seorang pengusaha cantik
keturunan Makassar-Tionghoa yang terlibat kasus penyelundupan. Wanita itu
meminta Hoegeng agar kasus yang dihadapinya tak dilanjutkan ke pengadilan. Seperti
diketahui, Hoegeng sangat gencar memerangi penyelundupan. Dia tidak peduli
siapa beking penyelundup tersebut, semua pasti disikatnya. Wanita ini pun
berusaha mengajak damai Hoegeng. Berbagai hadiah mewah dikirim ke alamat
Hoegeng. Tentu saja Hoegeng menolak mentah-mentah. Hadiah ini langsung
dikembalikan oleh Hoegeng. Tapi si wanita tak putus asa. Dia terus mendekati
Hoegeng. Yang membuat Hoegeng heran, malah koleganya di kepolisian dan
kejaksaan yang memintanya untuk melepaskan wanita itu. Hoegeng menjadi heran,
kenapa begitu banyak pejabat yang mau menolong pengusaha wanita tersebut.
Belakangan Hoegeng mendapat kabar, wanita itu tidak segan-segan tidur dengan
pejabat demi memuluskan aksi penyelundupannya. Hoegeng pun hanya bisa mengelus
dada prihatin menyaksikan tingkah polah koleganya yang terbuai uang dan rayuan
wanita.
4. Berantas Semua Beking
Kejahatan
Banyak aparat hukum malah menjadi
beking tempat maksiat, perjudian hingga menjadi bodyguard. Hanya sedikit yang
berani mengobrak-abrik praktik beking ini. Polisi super Hoegeng Imam Santosa
mungkin yang paling berani. Ceritanya tahun 1955, Kompol Hoegeng mendapat
perintah pindah ke Medan. Tugas berat sudah menantinya. Penyelundupan dan
perjudian sudah merajalela di kota itu. Para bandar judi telah menyuap para
polisi, tentara dan jaksa di Medan. Mereka yang sebenarnya menguasai hukum.
Aparat tidak bisa berbuat apa-apa disogok uang, mobil, perabot mewah dan
wanita. Mereka tak ubahnya kacung-kacung para bandar judi. Bukan tanpa alasan
kepolisian mengutus Hoegeng ke Medan. Sejak muda dia dikenal jujur, berani dan
antikorupsi. Hoegeng juga haram menerima suap maupun pemberian apapun.
Maka tahun 1956, Hoegeng diangkat
menjadi Kepala Direktorat Reskrim Kantor Polisi Sumut. Hoegeng pun pindah dari
Surabaya ke Medan. Belum ada rumah dinas untuk Hoegeng dan keluarganya karena
rumah dinas di Medan masih ditempati pejabat lama. Cerita soal keuletan para
pengusaha judi benar-benar terbukti. Baru saja Hoegeng mendarat di Pelabuhan
Belawan, utusan seorang bandar judi sudah mendekatinya. Utusan itu menyampaikan
selamat datang untuk Hoegeng. Tak lupa, dia juga mengatakan sudah ada mobil dan
rumah untuk Hoegeng hadiah dari para pengusaha. Hoegeng menolak dengan halus.
Dia memilih tinggal di Hotel De Boer menunggu sampai rumah dinasnya tersedia.
Kira-kira dua bulan kemudian,
saat rumah dinas di Jl Rivai siap ditinggali, bukan main terkejutnya Hoegeng.
Rumah dinasnya sudah penuh barang-barang mewah. Mulai dari kulkas, piano, tape
hingga sofa mahal. Hal yang sangat luar biasa. Tahun 1956, kulkas dan piano
belum tentu ada di rumah pejabat sekelas menteri sekalipun. Ternyata barang itu
lagi-lagi hadiah dari para bandar judi. Utusan yang menemui Hoegeng di
Pelabuhan Belawan datang lagi. Tapi Hoegeng malah meminta agar barang-barang
mewah itu dikeluarkan dari rumahnya. Hingga waktu yang ditentukan, utusan itu
juga tidak memindahkan barang-barang mewah tersebut. Apa tindakan Hoegeng? Dia
memerintahkan polisi pembantunya dan para kuli angkut mengeluarkan barang-barang
itu dari rumahnya. Diletakkan begitu saja di depan rumah. Bagi Hoegeng itu
lebih baik daripada melanggar sumpah jabatan dan sumpah sebagai polisi Republik
Indonesia. Hoegeng geram mendapati para polisi, jaksa dan tentara disuap dan
hanya menjadi kacung para bandar judi. "Sebuah kenyataan yang amat
memalukan," ujarnya geram.
-o0o-
Hoegeng dicopot sebagai Kapolri
oleh Presiden Soeharto. Dari segi kinerja, tak ada yang merugikan kemampuan dan
kejujuran Hoegeng. Jenderal jujur ini hanya punya satu kesalahan: Berani
melawan Soeharto dan kroninya. Soeharto memanggil Hoegeng. Secara tersirat dia
berkata tak ada tempat untuk Hoegeng lagi. Dengan tegas Hoegeng menjawab.
"Ya sudah. Saya keluar saja," katanya. Soeharto menawari Hoegeng
dengan jabatan sebagai duta besar atau diplomat di negara lain. Sebuah
kebiasaan untuk membuang mereka yang kritis terhadap Orde Baru. "Saya
tidak bisa jadi diplomat. Diplomat harus bisa minum koktail, saya tidak suka
koktail," sindir Hoegeng.
“Begitu dipensiunkan, Bapak
kemudian mengabarkan pada ibunya. Dan ibunya hanya berpesan, selesaikan tugas
dengan kejujuran. Karena kita masih bisa makan nasi dengan garam,” ujar
Roelani. “Dan kata-kata itulah yang menguatkan saya,” tambahnya.
Setelah pensiun, jasa-jasa
Hoegeng seperti ingin dihapuskan oleh Soeharto. Atas perintah Soeharto pula
Hoegeng dilarang menghadiri peringatan Hari Bhayangkara atau ulang tahun
kepolisian yang jatuh setiap tanggal 1 Juli. Mulai tahun 1987, Hoegeng tak lagi
diharapkan datang ke HUT Polri. Padahal dia sudah menerima undangan resmi. Tapi
menjelang hari-H, tiba-tiba ada utusan yang meminta agar Hoegeng tidak datang
dalam HUT Polri. Begitu juga tahun berikutnya.? Setelah itu ada saja alasan
untuk tidak mengundang Hoegeng. Mulai dari surat undangan yang sengaja
diberikan telat, hingga permohonan agar Hoegeng tidak datang.
Memasuki masa pensiun Hoegeng
menghabiskan waktu dengan menekuni hobinya sejak remaja, yakni bermain musik
Hawaiian dan melukis. Lukisan itu lah yang kemudian menjadi sumber Hoegeng
untuk membiayai keluarga. Dia memiliki band The Hawaiian Seniors yang
kerap tampil di TVRI. Setelah bergabung dengan Petisi 50, sekadar menyanyi di
TV pun dilarang. Kala itu Menteri Penerangan Ali Murtopo yang melarangnya. Dia
beralasan acara itu tidak sesuai budaya Indonesia. Ironisnya acara berbau barat
yang lain tak kenal semprit. Pangkopkamtib Laksamana Sudomo meminta masyarakat
agar waspada pada lagu-lagu Hoegeng. Dia menyebutkan bisa saja Hoegeng
menyanyikan lagu hasutan untuk memaksa rakyat membuat kerusuhan. Alasan yang
tak masuk akal.
Hoegeng memang seorang yang
sederhana, ia mengajarkan pada istri dan anak-anaknya arti disiplin dan
kejujuran. Semua keluarga dilarang untuk menggunakan berbagai fasilitas sebagai
anak seorang Kapolri.
“Bahkan anak-anak tak berani
untuk meminta sebuah sepeda pun,” kata Merry.
Ia pernah menolak hadiah rumah
dan berbagai isinya saat menjalankan tugas sebagai Kepala Direktorat Reskrim
Polda Sumatera Utara tahun 1956. Ketika itu, Hoegeng dan keluarganya lebih
memilih tinggal di hotel dan hanya mau pindah ke rumah dinas, jika isinya hanya
benar-benar barang inventaris kantor saja. Semua barang-barang luks pemberian
itu akhirnya ditaruh Hoegeng dan anak buahnya di pinggir jalan saja.
“ Kami tak tahu dari siapa
barang-barang itu, karena kami baru datang dan belum mengenal siapapun,” kata
Merry Roeslani, istri Hoegeng.
Aditya, salah seorang putra
Hoegeng bercerita, ketika sebuah perusahaan motor merek Lambretta mengirimkan
dua buah motor, sang ayah segera meminta ajudannya untuk mengembalikan barang
pemberian itu. “Padahal saya yang waktu itu masih muda sangat menginginkannya,”
kenang Didit.
Saking jujurnya, Hoegeng baru
memiliki rumah saat memasuki masa pensiun. Atas kebaikan Kapolri penggantinya,
rumah dinas di kawasan Menteng Jakarta pusat pun menjadi milik keluarga
Hoegeng. Tentu saja, mereka mengisi rumah itu, setelah seluruh perabot
inventaris kantor ia kembalikan semuanya.
Pensiunan Hoegeng hingga tahun 2001
hanya sebesar Rp.10.000 saja, itu pun hanya diterima sebesar Rp.7500! Dalam
acara Kick Andy, Aditya menunjukkan sebuah SK tentang perubahan gaji ayahnya
pada tahun 2001, yang menyatakan perubahan gaji pensiunan seorang Jendral
Hoegeng dari Rp. 10.000 menjadi Rp.1.170.000.
Mantan Kapolri Jenderal Polisi
Widodo Budidarmo punya kenangan soal Hoegeng. Widodo ingat betul pesan Hoegeng
padanya.
"Mas Widodo jangan sampai
kendor memberantas perjudian dan penyelundupan karena mereka ini orang-orang
yang berbahaya. Suka menyuap. Jangan sampai polisi bisa dibeli," tutur
Widodo menirukan pesan Hoegeng semasa itu.
Widodo tahu Hoegeng tidak asal
memberikan perintah. Hoegeng telah membuktikan dirinya memang tidak bisa
dibeli. Sejak menjadi perwira polisi di Medan, Hoegeng terkenal karena
keberanian dan kejujurannya. Dia tak sudi menerima suap sepeser pun.
Barang-barang hadiah pemberian penjudi dilemparkannya keluar rumah.
"Kata-kata mutiara yang
masih saya ingat dari Pak Hoegeng adalah baik menjadi orang penting, tapi lebih
penting menjadi orang baik," kenang Widodo.
Widodo bahkan menyamakan mantan
atasannya dengan Elliot Ness, penegak hukum legendaris yang memerangi gembong
mafia Al Capone di Chicago, Amerika Serikat. Saat itu, mafia menyuap hampir
seluruh polisi, jaksa dan hakim di Chicago. Karena itu mereka bebas menjalankan
aksi-aksi kriminal.
Tapi saat itu Elliot Ness dan
kelompoknya yang dikenal sebagai The Untouchables atau mereka yang tak
tersentuh suap, berhasil mengobrak-abrik kelompok gengster itu.
"Pak Hoegeng itu tak kenal
kompromi dan selalu bekerja keras memberantas kejahatan," jelas Widodo.
Teladan Jenderal Hoegeng bukan
hanya soal kejujuran dan antikorupsi. Hoegeng juga sangat peduli pada
masyarakat dan anak buahnya. Saat sudah menjadi Kapolri dengan pangkat jenderal
berbintang empat, Hoegeng masih turun tangan mengatur lalu lintas di
perempatan.
Hoegeng berpendapat seorang
polisi adalah pelayan masyarakat. Dari mulai pangkat terendah sampai tertinggi,
tugasnya adalah mengayomi masyarakat. Dalam posisi sosial demikian, maka
seorang agen polisi sama saja dengan seorang jenderal.
"Karena prinsip itulah,
Hoegeng tidak pernah merasa malu, turun tangan sendiri mengambil alih tugas
teknis seorang anggota polisi yang kebetulan sedang tidak ada atau tidak di
tempat. Jika terjadi kemacetan di sebuah perempatan yang sibuk, dengan baju
dinas Kapolri, Hoegeng akan menjalankan tugas seorang polantas di jalan raya.
Itu dilakukan Hoegeng dengan ikhlas seraya memberi contoh kepada anggota polisi
yang lain tentang motivasi dan kecintaan pada profesi."
Demikian ditulis dalam buku
Hoegeng-Oase menyejukkan di tengah perilaku koruptif para pemimpin bangsa-
terbitan Bentang.
Hoegeng selalu tiba di Mabes
Polri sebelum pukul 07.00 WIB. Sebelum sampai di kantor, dia memilih rute yang
berbeda dan berputar dahulu dari rumahnya di Menteng, Jakarta Pusat. Maksudnya
untuk memantau situasi lalu lintas dan kesiapsiagaan aparat kepolisian di
jalan.
Saat suasana ramai, seperti malam
tahun baru, Natal atau Lebaran, Hoegeng juga selalu terjun langsung mengecek
kesiapan aparat di lapangan. Dia memastikan kehadiran para petugas polisi
adalah untuk memberi rasa aman, bukan menimbulkan rasa takut. Polisi jangan
sampai jadi momok untuk masyarakat.
Tak heran, Almarhum Gus Dur
pernah berkata, "Di Indonesia ini hanya ada tiga polisi jujur, yakni
polisi tidur, patung polisi, dan Hoegeng."
Pada tanggal 14 Juli 2004 pukul
00.30 Jendral Hoegeng Iman Santoso meninggal dunia di Rumah Sakit Cipto
Mangunkusumo Jakarta, dalam usia yang ke 83 tahun akibat penyakit stroke serta
penyumbatan pembuluh darah dan pendarahan lambung. Dan karena kesederhanaanya,
Beliau pun minta dimakamkan di TPU Gintama, Bojong Gede Bogor, bukan di Taman
Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta.
Diambil dari berbagai sumber
Diperbarui tanggal 4 Juli 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar