Pages

Senin, 18 Juni 2012

Hoegeng Iman Santoso, Teladan Seorang Polisi yang Jujur

Jendral Hoegeng Iman Santoso
Jendral Hoegeng Iman Santoso adalah Kapolri di tahun 1968-1971. Ia juga pernah menjadi Kepala Imigrasi (1960), dan juga pernah menjabat sebagai menteri di jajaran kabinet era Soekarno. Kedisiplinan dan kejujuran selalu menjadi simbol Hoegeng dalam menjalankan tugasnya di manapun. Polisi Kelahiran Pekalongan 14 Oktober 1921 ini sangat gigih dalam menjalankan tugas. Jenderal Hoegeng selalu konsisten dalam memberantas korupsi, penyelundupan dan tindak kriminal. Hoegeng tak takut pada backing aparat dan pejabat busuk bermental korup. Beliau bahkan kadang menyamar dalam beberapa penyelidikan. 

Selama kepemimpinan Jendral Hoegeng Iman Santoso banyak perubahan yang dilakukannya. Hoegeng melakukan pembenahan Struktur Organisasi di tingkat Mabes Polri. Hasilnya, struktur yang baru lebih terkesan lebih dinamis dan komunikatif. Di bawah kepemimpinan Hoegeng peran serta Polri dalam peta organisasi Polisi Internasional, International Criminal Police Organization (ICPO), semakin aktif. Hal itu ditandai dengan dibukanya Sekretariat National Central Bureau (NCB) Interpol di Jakarta.


Sepak terjang Hoegeng membuat kroni keluarga Cendana mulai terusik. Apalagi sejumlah kasus diduga melibatkan orang-orang dekat Soeharto. Puncak perseteruan itu, Soeharto mencopot Hoegeng sebagai Kapolri tanggal 2 Oktober 1971. Baru tiga tahun Hoegeng menjabat. Kabar pencopotan itu diterima Hoegeng secara mendadak. Ironinya dengan alasan penyegaran, justru pengganti Hoegeng, Jenderal M Hasan lebih tua satu tahun. Banyak pihak ketika itu menilai pergantian Hoegeng penuh intrik politik. Tapi Hoegeng tak peduli dicopot. Dia sadar itu risiko memperjuangkan tegaknya hukum dengan kejujuran, dan sikap antikorupsi. Hoegeng dipensiunkan oleh Presiden Soeharto pada usia 49 tahun, di saat ia sedang melakukan pembersihan di jajaran kepolisian.

Berikut perlawanan Hoegeng mencoba menegakkan hukum walau harus merelakan jabatannya. 

1. Penyelundupan mobil mewah Robby Tjahjadi
Kasus penyelundupan mobil yang dilakukan Robby Tjahjadi sangat fenomenal pada akhir periode 1960an sampai awal 1970an. Robby adalah anak muda yang menyelundupkan ratusan mobil mewah ke Indonesia. Bayangkan tahun 1968, saat rakyat masih susah makan, di jalanan berkeliaran mobil Roll Royce, Jaguar, Alfa Romeo, BMW, Mercedes Benz dan lain-lain. Robby menyuap sejumlah pihak di bea cukai dan kepolisian untuk melanggengkan aksinya. Diduga ada keterlibatan keluarga Cendana dalam kasus ini. Maka ketika Jenderal Hoegeng membongkar kasus ini, bukan pujian atau penghargaan yang didapat. Soeharto mencopot jenderal penuh teladan ini sebagai Kapolri.

2. Kasus Pemerkosaan Sum Kuning
Sumarijem adalah seorang wanita penjual telur ayam berusia 18 tahun. Tanggal 21 September 1970, Sumarijem yang sedang menunggu bus di pinggir jalan, tiba-tiba diseret masuk ke dalam mobil oleh beberapa orang pria. Di dalam mobil, Sum diberi eter hingga tak sadarkan diri. Dia dibawa ke sebuah rumah di Klaten dan diperkosa bergiliran oleh para penculiknya. Setelah puas menjalankan aksi biadab mereka, Sum ditinggal begitu saja di pinggir jalan. Gadis malang ini pun melapor ke polisi. Bukannya dibantu, Sum malah dijadikan tersangka dengan tuduhan membuat laporan palsu. 

Dalam pengakuannya kepada wartawan, Sum mengaku disuruh mengakui cerita yang berbeda dari versi sebelumnya. Dia diancam akan disetrum jika tidak mau menurut. Sum pun disuruh membuka pakaiannya, dengan alasan polisi mencari tanda palu arit di tubuh wanita malang itu. Karena melibatkan anak-anak pejabat yang berpengaruh, Sum malah dituding anggota Gerwani. Saat itu memang masa-masanya pemerintah Soeharto gencar menangkapi anggota PKI dan underbouw-nya, termasuk Gerwani.

Kasus Sum disidangkan di Pengadilan Negeri Yogyakarta. Sidang perdana yang ganjil ini tertutup untuk wartawan. Belakangan polisi menghadirkan penjual bakso bernama Trimo. Trimo disebut sebagai pemerkosa Sum. Dalam persidangan Trimo menolak mentah-mentah. Jaksa menuntut Sum penjara tiga bulan dan satu tahun percobaan. Tapi majelis hakim menolak tuntutan itu. Dalam putusan, Hakim Ketua Lamijah Moeljarto menyatakan Sum tak terbukti memberikan keterangan palsu. Karena itu Sum harus dibebaskan. Dalam putusan hakim dibeberkan pula nestapa Sum selama ditahan polisi. Dianiaya, tak diberi obat saat sakit dan dipaksa mengakui berhubungan badan dengan Trimo, sang penjual bakso. Hakim juga membeberkan Trimo dianiaya saat diperiksa polisi.

Hoegeng terus memantau perkembangan kasus ini. Sehari setelah vonis bebas Sum, Hoegeng memanggil Komandan Polisi Yogyakarta AKBP Indrajoto dan Kapolda Jawa Tengah Kombes Suswono. Hoegeng lalu memerintahkan Komandan Jenderal Komando Reserse Katik Suroso mencari siapa saja yang memiliki fakta soal pemerkosaan Sum Kuning.

"Perlu diketahui bahwa kita tidak gentar menghadapi orang-orang gede siapa pun. Kita hanya takut kepada Tuhan Yang Maha Esa. Jadi kalau salah tetap kita tindak," tegas Hoegeng.

Hoegeng membentuk tim khusus untuk menangani kasus ini. Namanya Tim Pemeriksa Sum Kuning, dibentuk Januari 1971. Kasus Sum Kuning terus membesar seperti bola salju. Sejumlah pejabat polisi dan Yogyakarta yang anaknya disebut terlibat, membantah lewat media massa. Belakangan Presiden Soeharto sampai turun tangan menghentikan kasus Sum Kuning. Dalam pertemuan di istana, Soeharto memerintahkan kasus ini ditangani oleh Team pemeriksa Pusat Kopkamtib. Hal ini dinilai luar biasa. Kopkamtib adalah lembaga negara yang menangani masalah politik luar biasa. Masalah keamanan yang dianggap membahayakan negara. Kenapa kasus perkosaan ini sampai ditangani Kopkamtib? Dalam kasus persidangan perkosaan Sum, polisi kemudian mengumumkan pemerkosa Sum berjumlah 10 orang. Semuanya anak orang biasa, bukan anak penggede alias pejabat negara. Para terdakwa pemerkosa Sum membantah keras melakukan pemerkosaan ini. Mereka bersumpah rela mati jika benar memerkosa. Kapolri Hoegeng sadar. Ada kekuatan besar untuk membuat kasus ini menjadi bias. Tanggal 2 Oktober 1971, Hoegeng dipensiunkan sebagai Kapolri. Beberapa pihak menilai Hoegeng sengaja dipensiunkan untuk menutup kasus ini.

Sumarijem
3. Tolak Rayuan Pengusaha Cantik
Kapolri Hoegeng Imam Santosa pun pernah merasakan godaan suap. Dia pernah dirayu seorang pengusaha cantik keturunan Makassar-Tionghoa yang terlibat kasus penyelundupan. Wanita itu meminta Hoegeng agar kasus yang dihadapinya tak dilanjutkan ke pengadilan. Seperti diketahui, Hoegeng sangat gencar memerangi penyelundupan. Dia tidak peduli siapa beking penyelundup tersebut, semua pasti disikatnya. Wanita ini pun berusaha mengajak damai Hoegeng. Berbagai hadiah mewah dikirim ke alamat Hoegeng. Tentu saja Hoegeng menolak mentah-mentah. Hadiah ini langsung dikembalikan oleh Hoegeng. Tapi si wanita tak putus asa. Dia terus mendekati Hoegeng. Yang membuat Hoegeng heran, malah koleganya di kepolisian dan kejaksaan yang memintanya untuk melepaskan wanita itu. Hoegeng menjadi heran, kenapa begitu banyak pejabat yang mau menolong pengusaha wanita tersebut. Belakangan Hoegeng mendapat kabar, wanita itu tidak segan-segan tidur dengan pejabat demi memuluskan aksi penyelundupannya. Hoegeng pun hanya bisa mengelus dada prihatin menyaksikan tingkah polah koleganya yang terbuai uang dan rayuan wanita.

4. Berantas Semua Beking Kejahatan
Banyak aparat hukum malah menjadi beking tempat maksiat, perjudian hingga menjadi bodyguard. Hanya sedikit yang berani mengobrak-abrik praktik beking ini. Polisi super Hoegeng Imam Santosa mungkin yang paling berani. Ceritanya tahun 1955, Kompol Hoegeng mendapat perintah pindah ke Medan. Tugas berat sudah menantinya. Penyelundupan dan perjudian sudah merajalela di kota itu. Para bandar judi telah menyuap para polisi, tentara dan jaksa di Medan. Mereka yang sebenarnya menguasai hukum. Aparat tidak bisa berbuat apa-apa disogok uang, mobil, perabot mewah dan wanita. Mereka tak ubahnya kacung-kacung para bandar judi. Bukan tanpa alasan kepolisian mengutus Hoegeng ke Medan. Sejak muda dia dikenal jujur, berani dan antikorupsi. Hoegeng juga haram menerima suap maupun pemberian apapun.

Maka tahun 1956, Hoegeng diangkat menjadi Kepala Direktorat Reskrim Kantor Polisi Sumut. Hoegeng pun pindah dari Surabaya ke Medan. Belum ada rumah dinas untuk Hoegeng dan keluarganya karena rumah dinas di Medan masih ditempati pejabat lama. Cerita soal keuletan para pengusaha judi benar-benar terbukti. Baru saja Hoegeng mendarat di Pelabuhan Belawan, utusan seorang bandar judi sudah mendekatinya. Utusan itu menyampaikan selamat datang untuk Hoegeng. Tak lupa, dia juga mengatakan sudah ada mobil dan rumah untuk Hoegeng hadiah dari para pengusaha. Hoegeng menolak dengan halus. Dia memilih tinggal di Hotel De Boer menunggu sampai rumah dinasnya tersedia. 

Kira-kira dua bulan kemudian, saat rumah dinas di Jl Rivai siap ditinggali, bukan main terkejutnya Hoegeng. Rumah dinasnya sudah penuh barang-barang mewah. Mulai dari kulkas, piano, tape hingga sofa mahal. Hal yang sangat luar biasa. Tahun 1956, kulkas dan piano belum tentu ada di rumah pejabat sekelas menteri sekalipun. Ternyata barang itu lagi-lagi hadiah dari para bandar judi. Utusan yang menemui Hoegeng di Pelabuhan Belawan datang lagi. Tapi Hoegeng malah meminta agar barang-barang mewah itu dikeluarkan dari rumahnya. Hingga waktu yang ditentukan, utusan itu juga tidak memindahkan barang-barang mewah tersebut. Apa tindakan Hoegeng? Dia memerintahkan polisi pembantunya dan para kuli angkut mengeluarkan barang-barang itu dari rumahnya. Diletakkan begitu saja di depan rumah. Bagi Hoegeng itu lebih baik daripada melanggar sumpah jabatan dan sumpah sebagai polisi Republik Indonesia. Hoegeng geram mendapati para polisi, jaksa dan tentara disuap dan hanya menjadi kacung para bandar judi. "Sebuah kenyataan yang amat memalukan," ujarnya geram.
-o0o-

Hoegeng dicopot sebagai Kapolri oleh Presiden Soeharto. Dari segi kinerja, tak ada yang merugikan kemampuan dan kejujuran Hoegeng. Jenderal jujur ini hanya punya satu kesalahan: Berani melawan Soeharto dan kroninya. Soeharto memanggil Hoegeng. Secara tersirat dia berkata tak ada tempat untuk Hoegeng lagi. Dengan tegas Hoegeng menjawab. "Ya sudah. Saya keluar saja," katanya. Soeharto menawari Hoegeng dengan jabatan sebagai duta besar atau diplomat di negara lain. Sebuah kebiasaan untuk membuang mereka yang kritis terhadap Orde Baru. "Saya tidak bisa jadi diplomat. Diplomat harus bisa minum koktail, saya tidak suka koktail," sindir Hoegeng.

“Begitu dipensiunkan, Bapak kemudian mengabarkan pada ibunya. Dan ibunya hanya berpesan, selesaikan tugas dengan kejujuran. Karena kita masih bisa makan nasi dengan garam,” ujar Roelani. “Dan kata-kata itulah yang menguatkan saya,” tambahnya.

Setelah pensiun, jasa-jasa Hoegeng seperti ingin dihapuskan oleh Soeharto. Atas perintah Soeharto pula Hoegeng dilarang menghadiri peringatan Hari Bhayangkara atau ulang tahun kepolisian yang jatuh setiap tanggal 1 Juli. Mulai tahun 1987, Hoegeng tak lagi diharapkan datang ke HUT Polri. Padahal dia sudah menerima undangan resmi. Tapi menjelang hari-H, tiba-tiba ada utusan yang meminta agar Hoegeng tidak datang dalam HUT Polri. Begitu juga tahun berikutnya.? Setelah itu ada saja alasan untuk tidak mengundang Hoegeng. Mulai dari surat undangan yang sengaja diberikan telat, hingga permohonan agar Hoegeng tidak datang.

Memasuki masa pensiun Hoegeng menghabiskan waktu dengan menekuni hobinya sejak remaja, yakni bermain musik Hawaiian dan melukis. Lukisan itu lah yang kemudian menjadi sumber Hoegeng untuk membiayai keluarga.  Dia memiliki band The Hawaiian Seniors yang kerap tampil di TVRI. Setelah bergabung dengan Petisi 50, sekadar menyanyi di TV pun dilarang. Kala itu Menteri Penerangan Ali Murtopo yang melarangnya. Dia beralasan acara itu tidak sesuai budaya Indonesia. Ironisnya acara berbau barat yang lain tak kenal semprit. Pangkopkamtib Laksamana Sudomo meminta masyarakat agar waspada pada lagu-lagu Hoegeng. Dia menyebutkan bisa saja Hoegeng menyanyikan lagu hasutan untuk memaksa rakyat membuat kerusuhan. Alasan yang tak masuk akal. 

Hoegeng memang seorang yang sederhana, ia mengajarkan pada istri dan anak-anaknya arti disiplin dan kejujuran. Semua keluarga dilarang untuk menggunakan berbagai fasilitas sebagai anak seorang Kapolri. 
“Bahkan anak-anak tak berani untuk meminta sebuah sepeda pun,” kata Merry.

Jendral Hoegeng bersama istrinya Merry Roeslani
Ia pernah menolak hadiah rumah dan berbagai isinya saat menjalankan tugas sebagai Kepala Direktorat Reskrim Polda Sumatera Utara tahun 1956. Ketika itu, Hoegeng dan keluarganya lebih memilih tinggal di hotel dan hanya mau pindah ke rumah dinas, jika isinya hanya benar-benar barang inventaris kantor saja. Semua barang-barang luks pemberian itu akhirnya ditaruh Hoegeng dan anak buahnya di pinggir jalan saja.
“ Kami tak tahu dari siapa barang-barang itu, karena kami baru datang dan belum mengenal siapapun,” kata Merry Roeslani, istri Hoegeng.

Aditya, salah seorang putra Hoegeng bercerita, ketika sebuah perusahaan motor merek Lambretta mengirimkan dua buah motor, sang ayah segera meminta ajudannya untuk mengembalikan barang pemberian itu. “Padahal saya yang waktu itu masih muda sangat menginginkannya,” kenang Didit.

Saking jujurnya, Hoegeng baru memiliki rumah saat memasuki masa pensiun. Atas kebaikan Kapolri penggantinya, rumah dinas di kawasan Menteng Jakarta pusat pun menjadi milik keluarga Hoegeng. Tentu saja, mereka mengisi rumah itu, setelah seluruh perabot inventaris kantor ia kembalikan semuanya.

Pensiunan Hoegeng hingga tahun 2001 hanya sebesar Rp.10.000 saja, itu pun hanya diterima sebesar Rp.7500! Dalam acara Kick Andy, Aditya menunjukkan sebuah SK tentang perubahan gaji ayahnya pada tahun 2001, yang menyatakan perubahan gaji pensiunan seorang Jendral Hoegeng dari Rp. 10.000 menjadi Rp.1.170.000.

Mantan Kapolri Jenderal Polisi Widodo Budidarmo punya kenangan soal Hoegeng. Widodo ingat betul pesan Hoegeng padanya.

"Mas Widodo jangan sampai kendor memberantas perjudian dan penyelundupan karena mereka ini orang-orang yang berbahaya. Suka menyuap. Jangan sampai polisi bisa dibeli," tutur Widodo menirukan pesan Hoegeng semasa itu.

Widodo tahu Hoegeng tidak asal memberikan perintah. Hoegeng telah membuktikan dirinya memang tidak bisa dibeli. Sejak menjadi perwira polisi di Medan, Hoegeng terkenal karena keberanian dan kejujurannya. Dia tak sudi menerima suap sepeser pun. Barang-barang hadiah pemberian penjudi dilemparkannya keluar rumah.

"Kata-kata mutiara yang masih saya ingat dari Pak Hoegeng adalah baik menjadi orang penting, tapi lebih penting menjadi orang baik," kenang Widodo.

Widodo bahkan menyamakan mantan atasannya dengan Elliot Ness, penegak hukum legendaris yang memerangi gembong mafia Al Capone di Chicago, Amerika Serikat. Saat itu, mafia menyuap hampir seluruh polisi, jaksa dan hakim di Chicago. Karena itu mereka bebas menjalankan aksi-aksi kriminal.

Tapi saat itu Elliot Ness dan kelompoknya yang dikenal sebagai The Untouchables atau mereka yang tak tersentuh suap, berhasil mengobrak-abrik kelompok gengster itu.

"Pak Hoegeng itu tak kenal kompromi dan selalu bekerja keras memberantas kejahatan," jelas Widodo.

Teladan Jenderal Hoegeng bukan hanya soal kejujuran dan antikorupsi. Hoegeng juga sangat peduli pada masyarakat dan anak buahnya. Saat sudah menjadi Kapolri dengan pangkat jenderal berbintang empat, Hoegeng masih turun tangan mengatur lalu lintas di perempatan.

Hoegeng berpendapat seorang polisi adalah pelayan masyarakat. Dari mulai pangkat terendah sampai tertinggi, tugasnya adalah mengayomi masyarakat. Dalam posisi sosial demikian, maka seorang agen polisi sama saja dengan seorang jenderal.

"Karena prinsip itulah, Hoegeng tidak pernah merasa malu, turun tangan sendiri mengambil alih tugas teknis seorang anggota polisi yang kebetulan sedang tidak ada atau tidak di tempat. Jika terjadi kemacetan di sebuah perempatan yang sibuk, dengan baju dinas Kapolri, Hoegeng akan menjalankan tugas seorang polantas di jalan raya. Itu dilakukan Hoegeng dengan ikhlas seraya memberi contoh kepada anggota polisi yang lain tentang motivasi dan kecintaan pada profesi."

Demikian ditulis dalam buku Hoegeng-Oase menyejukkan di tengah perilaku koruptif para pemimpin bangsa- terbitan Bentang.

Hoegeng selalu tiba di Mabes Polri sebelum pukul 07.00 WIB. Sebelum sampai di kantor, dia memilih rute yang berbeda dan berputar dahulu dari rumahnya di Menteng, Jakarta Pusat. Maksudnya untuk memantau situasi lalu lintas dan kesiapsiagaan aparat kepolisian di jalan.

Saat suasana ramai, seperti malam tahun baru, Natal atau Lebaran, Hoegeng juga selalu terjun langsung mengecek kesiapan aparat di lapangan. Dia memastikan kehadiran para petugas polisi adalah untuk memberi rasa aman, bukan menimbulkan rasa takut. Polisi jangan sampai jadi momok untuk masyarakat.

Tak heran, Almarhum Gus Dur pernah berkata, "Di Indonesia ini hanya ada tiga polisi jujur, yakni polisi tidur, patung polisi, dan Hoegeng."


Pada tanggal 14 Juli 2004 pukul 00.30 Jendral Hoegeng Iman Santoso meninggal dunia di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta, dalam usia yang ke 83 tahun akibat penyakit stroke serta penyumbatan pembuluh darah dan pendarahan lambung. Dan karena kesederhanaanya, Beliau pun minta dimakamkan di TPU Gintama, Bojong Gede Bogor, bukan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta.

Diambil dari berbagai sumber

Diperbarui tanggal 4 Juli 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar