Minggu, 17 Juli 2011

Tangisan Sang Penghianat



Alkhiyanah al-Kubra (Pengkhianatan besar), begitulah DR. Thariq al-Suwaidan menyebut tingkah polah Abu Abdillah al-Shaghir di kota terakhir yang dimiliki muslimin, Granada. Dari sejak dia meminta bantuan tentara Kristen untuk membantai sesama muslim hingga penyerahan Granada dengan pemandangan penuh hina.

Sejarah menceritakan dengan sangat detail, suasana hari penyerahan Granada kepada kerajaan Kristen. Raja dan Ratu Kerajaan Kristen itu datang dengan semua tampilan kebesarannya. Bersama para pengawal dan pendeta. Mereka masuk ke istana al-Hamra’ yang menjadi simbol kebesaran Granada, siap menerima kota indah itu.

Perjanjian penyerahan Granada antara Abu Abdillah Al Shaghir diwakili menterinya Abul Qasim dengan Fernando dan Isabela.

Dan inilah sambutan Abu Abdillah al-Shaghir. Hadiah-hadiah istimewa dia persembahkan kepada sang raja tersebut dan dia pun berlutut di hadapan Raja Kristen itu sambil mencium tangan sang raja. Inilah pemandangan yang akan terulang di zaman manapun. Jika petinggi muslim sudah memberikan sambutan-sambutan istimewa di antaranya dengan pemberian hadiah dan memberikan penghormatan takzim di antaranya dengan ciuman bagi para musuh, maka itu artinya akhir dari semua perjuangan negeri dan kelompok muslimin itu. Walau masyarakat muslimin tidak tahu. Tetapi para pengkhianat itu sangat tahu langkah demi langkah penggadaian umat dan negeri. Dengan diciumnya tangan raja Kristen, maka Granada resmi berada di bawah Kerajaan Kristen Castille.

Abu Abdillah al-Shaghir di kota terakhir yang dimiliki muslimin, Granada
Tidak ada yang tersisa. Hanya harapan Abu Abdillah al-Shaghir yang masih tersisa. Tetapi ternyata semua harapan agar eksistensi muslim bisa dijaga, hanya mimpi di siang bolong. Keinginan menjaga yang sudah digapai, hanya keinginan tanpa bukti. Yang jelas dan terbukti adalah penyerahan Granada dan ciuman takzim untuk sang raja dengan menekuk lutut di hadapannya. Yang jelas dan terbukti adalah pengkhianatan umat. Jangankan bisa memerintah Granada yang tunduk di bawah Kerajaan Castille –seperti yang permintaannya sebagai ganti penyerahan Granada- Abu Abdillah bahkan diminta oleh sang Raja untuk meninggalkan Granada. Hanya setahun setelah dia mencium tangan sang raja sambil menekuk lututnya. Dia harus meninggalkan Granada bahkan Andalus. Untuk selama-lamanya.

Kastil Granda
Abu Abdillah pun bergerak pergi bersama siapa saja yang ikut bersamanya. Hingga ketika sampai di sebuah bukit. Dia naik ke bukit itu, sambil memandangi Granada untuk terakhir kalinya dalam hidupnya. Kota besar, kuat nan indah yang telah dia jual dengan impian yang tak pernah terbukti. Matanya terus memandang. Entah apa yang sedang berkecamuk di hati dan pikiran Abu Abdillah al-Shaghir. Tapi jelas sangat banyak. Setidaknya, dari berbagai kenangan kebesaran. Hingga dia terusir dengan sangat hina, karena ulahnya sendiri. Air mata mulai meleleh di pipinya. Semakin deras. Dan semakin deras. Tangis pun meledak. Tak tertahankan. Banjir air mata hingga membasahi jenggotnya.

el último suspiro del Moro
Abu Abdillah al-Shaghir terus menangis. Hingga dipecah oleh suara tegar sang bunda, Aisyah al-Hurrah. Kalimat yang jelas mengandung gumpalan-gumpalan murka seorang ibu terhadap anaknya yang tidak amanah kepada umat. Inilah kalimat sang bunda yang diabadikan oleh sejarah :

Menangis…menangis…menangislah…
Ya menangislah seperti wanita! Kerajaan yang tidak bisa kamu jaga seperti laki-laki:
Menangislah seperti wanita, kerajaan yang lenyap
Kamu tidak sanggup menjaganya seperti laki-laki

Sangat kuat kemarahan sang bunda. Melihat anaknya hanya bisa menangis saat semuanya telah terlambat. Saat umat Islam telah kehilangan semuanya. Semuanya karena ulah anaknya. Yang hanya bisa menangis seperti wanita. Penyesalan yang selalu datang terlambat dan tiada guna. Bukit saksi bisu penyesalan seorang pengkhianat umat itu masih dikunjungi orang hingga hari ini. Masih bisa dilihat, agar menjadi pelajaran bagi setiap pengkhianat umat. Apapun rencana matang pengkhianatannya, pasti akan melelehkan air mata penyesalan yang sering datang terlambat saat semuanya telah musnah.

Oleh masyarakat Spanyol bukit tersebut di sebut sebagai el último suspiro de Moro yang dalam Bahasa Arab diterjemahkan زفرة العربي الأخيرة (tangisan terakhir (raja) Arab). Ya, di situlah tangisan untuk terakhir kalinya. Terakhir. Setidaknya hingga saat tulisan ini digoreskan. Sudah 517 tahun, umat Islam belum kunjung bisa mengembalikan Andalus yang hilang.Abu Abdillah terus berjalan menyeberang menuju Malila. Hingga akhirnya ia menetap di Fez, Maroko sampai meninggal.

Di Fez, sejarah kembali mengajari kita pelajaran besar nan penting. Sejarah kali ini memberikan sorotan tajamnya, agar setiap kita berhati-hati. Jangan menjadi pengkhianat umat. Seberapa pun hebatnya kita merencanakan dan menutupinya. Pengkhianatan akan berujung pada kehinaan sejak di dunia. Fez menjadi kota yang bersaksi kepada kita tentang akhir dari kehidupan seorang pengkhianat umat. Tidak sebentar dia hidup tersiksa dalam kehinaan. 27 tahun hidup miskin terlunta-lunta. Bertahan hidup dengan harta-harta belas kasihan infak dan wakaf. Hartanya ludes, bahkan dia tak meninggalkan warisan apapun.

Inilah akhir dari kisah pengkhianat peradaban. Hidup penuh kehinaan, saat dulunya mulia. Hidup penuh kesengsaraan saat dulunya makmur. Hidup penuh siksaan, saat dulunya bahagia. Inilah pelajaran bagi para pengkhianat umat di sepanjang zaman. Terlalu pahit pengkhianatan itu untuk ditanggung umat. Kedzaliman menindih umat lebih dari yang dibayangkan bahkan oleh si pengkhianat itu. Dosa yang layak dipercepat adzabnya di bumi ini. Dan inilah kisah tangisan pengkhianat umat. Yang hanya bisa menangisi tetapi semuanya telah terlambat. Tangisan yang tidak pernah mengembalikan kejayaan. Tangisan yang merupakan awal dari kehancuran.

Benarlah Nabiyullah Yusuf alaihis salam saat menegaskan, “… dan bahwasanya Allah tidak meridhai tipu daya orang-orang yang berkhianat.” (Qs. Yusuf: 52) Semua ini di dunia. Bagaimana di akhirat kelak?! 

Pengadilan terhadap kaum Muslimin
Dia hanya diusir. Tetapi lihatlah muslimin setelah itu. Bukan hanya diusir. Mereka dibunuh, dijadikan budak dan bahkan dipaksa untuk menanggalkan iman mereka. Musibah itu telah merobek-robek harta termahal seorang mukmin, aqidah mereka. Musibah itu telah menyentuh agama mereka; musibah terbesar dalam hidup yang Nabi berlindung darinya.

Dia meneteskan air mata. Tetapi muslimin harus tertumpah darah mereka. Bahkan ada yang mati dengan cara dibakar hidup-hidup hanya karena ketahuan menyimpan mushaf al-Qur’an. Terpikirkankah oleh Abu Abdillah dan semua kroninya? Dampak pengkhianatan mereka?

Hanya berselang tujuh tahun sejak penyerahan Granada. Tepatnya pada tahun 905 H / 1499 M, Kerajaan Kristen dengan perintah dari gereja mengumumkan resmi penutupan seluruh masjid dan pelarangan shalat secara terbuka. Pengumuman tersebut dikeluarkan setelah tujuh tahun lamanya, berbagai upaya dilakukan untuk memurtadkan muslimin.

Terpikirkankah oleh Abu Abdillah dan semua kroninya? Dampak pengkhianatan mereka?
30 tahun berikutnya. Tahun 935 H / 1529 M, pelarangan bagi muslimin kembali dikeluarkan. Kali ini giliran al-Qur’an dan bahasanya yang dilarang. Muslimin resmi dilarang berbicara dengan menggunakan Bahasa Arab. Siapa yang melakukannya, hukumannya adalah mati! Al-Qur’an pun dilarang untuk dibaca. Dan muslimin dilarang untuk berhubungan dengan dunia Islam internasional.

Terpikirkankah oleh Abu Abdillah dan semua kroninya? Dampak pengkhianatan mereka?
40 tahun berikutnya. Tahun 974 H / 1567 M, dikeluarkan kembali peraturan. Ini peraturan paling aneh sedunia. Philip II melarang Umat Islam mandi. Karena mereka tahu, walau muslimin telah dilarang shalat. Tetapi mereka tetap shalat dengan cara sembunyi-sembunyi. Dan masyarakat Kristen di Andalus memang tidak peduli dengan mandi. Bahkan disebutkan dalam kisahnya, bahwa Ratu Isabella menyebutkan dengan bangga tentang dirinya bahwa dia tidak pernah mandi kecuali hanya dua kali saja; sekali saat ia lahir dan sekali saat menjelang malam pernikahannya. Dan sekali lagi saat dia mati. Dampak dari peraturan itu, kamar mandi-kamar mandi umum dihancurkan. Dan siapapun rumah muslim yang terlihat ada bekas mandi, pengadilan bisa memutuskan untuk dihukum mati!

Terpikirkankah oleh Abu Abdillah dan semua kroninya? Dampak pengkhianatan mereka?
Tak berhenti sampai di situ. Kebencian musuh Islam terus berkembang. Hingga akhirnya pakaian Islami dan Arab dilarang untuk dipakai. Siapa yang memakainya dinyatakan telah melanggar aturan negara dan layak diberi hukuman mati!

Terpikirkankah oleh Abu Abdillah dan semua kroninya? Dampak pengkhianatan mereka?
Pengadilan investigasi pun didirikan. Fungsinya adalah membongkar muslimin yang masih menyembunyikan keislamannya. Dengan sebuah bukti ringan bahwa dia masih muslim, seperti masih menyimpan mushaf al-Qur’an, maka dijatuhi hukuman mati! Setidaknya, pengadilan tersebut telah menjatuhi 3 juta orang dengan hukuman mati!

Terpikirkankah oleh Abu Abdillah dan semua kroninya? Dampak pengkhianatan mereka?
Para pengkhianat umat terus larut dalam syahwatnya. Para pendukung pengkhianat pun terbuai dalih-dalih legalisasi pengkhianatan. Mereka semua tidak pernah menyangka bahwa efek pengkhianatan sangat besar dan bahaya. Bahkan lebih besar dan lebih bahaya dari yang mereka bayangkan. Dampak pengkhianatan itu terlalu pahit untuk ditanggung oleh muslimin.
Allah sudah memberikan peringatan –semoga menjadi peringatan bagi semua-,
 
فَلَمَّا نَسُوا مَا ذُكِّرُوا بِهِ فَتَحْنَا عَلَيْهِمْ أَبْوَابَ كُلِّ شَيْءٍ حَتَّى إِذَا فَرِحُوا بِمَا أُوتُوا أَخَذْنَاهُمْ بَغْتَةً فَإِذَا هُمْ مُبْلِسُونَ

“Maka tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kamipun membukakan semua pintu-pintu kesenangan untuk mereka; sehingga apabila mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka dengan sekonyong-konyong, maka ketika itu mereka terdiam berputus asa.” (Qs. Al-An’am: 44)

Berikut penjelasan gabungan para ulama dalam al-Tafsir al-Muyassar, “Ketika mereka mengabaikan perintah-perintah Allah dan menjauhinya, Kami membuka bagi mereka pintu-pintu segala sesuatu berupa rizki. Kami ubah kesulitan hidup menjadi kelapangan, kesakitan menjadi kesehatan fisik. Itu adalah istidraj Kami kepada mereka. Hingga ketika mereka sombong dan bangga dengan yang Kami berikan kepada mereka berupa kebaikan dan nikmat, Kami adzab mereka dengan tiba-tiba. Seketika itu mereka putus asa dan terputus dari semua kebaikan.”

Dan biasanya semua sadar. Saat sudah terlambat. Saat tidak mungkin lagi lari dari adzab Allah. Saat semuanya telah musnah. Dan umat muslim harus kembali tenggelam dalam catatan gelap sejarah hidup mereka.

 

Hanya ada sekelompok orang yang masih sadar. Merekalah yang menyadari semua bahaya pengkhianatan itu. Merekalah yang terus menyuarakan kebenaran dan sadar akan dekatnya adzab Allah dalam berbagai bentuknya. Dampak dari pengkhianatan yang tengah berlangsung dan terus berlangsung. Mereka adalah para mujahid semisal Musa bin Abi Ghassan. Hanya saja, para mujahid seperti Musa bin Abi Ghassan biasanya sudah tersingkir sejak para pengkhianat itu menempati posisi pembuat keputusan dan sejak mereka mulai mengarang ‘fikih’ syahwat.
Semoga Allah mengampuni kita semua.

Wallahu a’lam







Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Iklan

Komentar Terbaru

Prodimaar